OTO RHINO LARYNGOLOGY

Sabtu, 07 Juni 2008

Gangguan Dengar

Pendengaran adalah fungsi yang penting dan sangat berharga dalam kehidupan, terutama dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Gangguan dengar atau ketulian yang bersifat permanen bukan tidak mungkin menimbulkan masalah psikososial dan kesehatan yang pada akhirnya menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan, depresi, dan terisolasi dari kehidupan sosial.

Sistem Pendengaran

Sistem pendengaran dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam, dan sistem saraf pendengaran disertai pusat pendengaran di otak. Telinga luar berperan pasif tetapi penting bagi pendengaran. Daun telinga berfungsi mengumpulkan suara dan mengetahui lokasi datangnya suara, sedangkan liang telinga (saluran telinga luar) karena bentuk dan dimensinya yang membuat ia bersifat resonator, maka dapat menambah intensitas (kekerasan bunyi) pada rentang frekuensi 2-4 kilohertz (kHz) sebesar 10-15 dB.
Telinga tengah dengan 3 buah tulang pendengarannya (maleus-inkus-stapes) membentuk sistem pengungkit (katrol) untuk menghantarkan suara dari gendang telinga ke fenestra/foramen ovale (lubang pada tulang yang membatasi telinga tengah dan telinga dalam). Transmisi energi suara melalui telinga tengah ini diawali dengan bergetarnya gendang telinga yang menggerakkan maleus. Selanjutnya lengan tulang maleus dan prosesus (tonjolan) tulang inkus bergerak bersama-sama untuk kemudian menyebabkan tulang stapes bergerak seperti piston di dalam fenestra ovale.
Gerakan piston dari stapes tersebut menimbulkan perubahan tekanan yang akan diteruskan dan dihantarkan melalui cairan perilimfe di telinga dalam (koklea) ke sekat koklea. Transmisi tekanan ini menyebabkan sekat koklea menggelembung ke atas dan ke bawah dan mengaktifkan sel rambut di dalam organokorti untuk merangsang saraf pendengaran. Artinya pada telinga luar dan telinga tengah terjadi proses transmisi (hantaran suara) dan transformasi (peningkatan energi suara), sedangkan di telinga dalam terjadi proses mekanotransduksi (perubahan energi suara menjadi energi potensial listrik). Perubahan potensial inilah yang kemudian akan merangsang terjadinya aktivasi sepanjang serabut saraf pendengaran untuk kemudian dipersepsikan sebagai suara di pusat pendengaran di otak.

Gangguan Dengar
Gangguan dengar didefinisikan sebagai berkurangnya pendengaran dari derajat ringan sampai sangat berat. Jika seseorang dapat mendengar suara dari suatu sumber bunyi dengan intensitas (tingkat kekerasan bunyi) antara 0-25 dB, maka ia memiliki fungsi pendengaran yang normal. Berdasarkan titik tolak tersebut, maka jika seseorang:
baru dapat mendengar suara dengan intensitas”
1. 26-40 dB : gangguan dengar ringan
2. 41-55 dB : gangguan dengar sedang
3. 56-70 dB : gangguan dengar sedang-berat
4. 71-90 dB : gangguan dengar berat
5. > 90 dB : gangguan dengar sangat berat

Adapun jenis gangguan dengar dapat dikategorikan ke dalam gangguan dengar tipe konduktif (conductive hearing loss) terjadi bila terdapat gangguan hantaran suara yang ditransmisikan melalui udara mulai dari liang telinga (saluran telinga luar), gendang telinga, rangkaian tulang pendengaran yang terdapat di rongga telinga tengah, hingga sampai foramen ovale. Artinya suatu kelainan yang terdapat pada setiap area di atas dapat menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Sampai batas tertentu, gangguan pendengaran tipe ini masih dapat diperbaiki. Kategori lainnya adalah gangguan dengar tipe sensorineural (sensorineural hearing loss) yang akan terjadi jika hantaran suara melalui tulang untuk transmisi di daerah persepsi (sel-sel rambut organokorti di telinga dalam hingga saraf pendengaran area auditorius di otak). Bisa saja terdapat gangguan pendengaran pada kedua jenis hantaran di atas yang kemudian dikategorikan sebagai gangguan dengar/tuli campur.

Tonsilitis

Tonsillitis adalah suatu peradangan pada tonsil (atau biasa disebut amandel) yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun hampir 50% kasus tonsilitis adalah karana infeksi. Tonsilitis akut sering dialami oleh anak dengan insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun, dan juga pada orang dewasa di atas usia 50 tahun. Seseorang terpredisposisi menderita tonsillitis jika memiliki resistensi yang rendah, memiliki tonsil dengan kondisi tidak menguntungkan akibat tonsilitis berulang sebelumnya, sebagai bagian dari radang tenggorok (faringitis) secara umum, atau sekunder terhadap infeksi virus (biasanya adenovirus yang menyebabkan tonsil menjadi mudah diinvasi bakteri).
Manifestasi klinik yang mungkin timbul pada tonsilitis sangat bervariasi untuk tiap penderita, diantaranya rasa mengganjal atau kering di tenggorokan, nyeri tenggorok (sore throat) rasa haus, malaise, demam, menggigil, nyeri menelan (odinofagia), gangguan menelan (disfagia), nyeri yang menyebar ke telinga, pembengkakan kelenjar getah bening regional, perubahan suara, nyeri kepala, ataupun nyeri pada bagian punggung dan lengan.
Diagnosis dari tonsilitis akut atau berulang ditegakkan terutama berdasarkan manifestasi klinis. Meskipun demikian prosedur kultur dan resistensi bakterial sangat dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya jenis bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A pada 40% kasus, di mana tonsilitis yang terjadi sekunder terhadap bakteri ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang cukup berat. Jenis bakteri lain yang juga dapat ditemukan, antara lain: streptokokus alfa dan gama, difteroid, stafilokokus aureus, dan haemofilus influenza. Di samping itu bakteri anaerob juga telah ditemukan pada permukaan dan poros tonsil, terutama grup bakteroides melaninogenikus.
Meskipun kebanyakan kasus tonsilitis dapat sembuh dengan penanganan konvensional, seperti istirahat (bedrest), asupan makanan yang baik, penurun panas (antipiretik), di mana tanpa pemberian antibiotik, tonsilitis biasanya berlangsung selama kurang lebih 1 minggu. Adapun pemberian antibiotik dalam kasus seperti ini, umumnya ditujukan untuk mengurangi episode penyakit dan lamanya gejala yang diderita seperti nyeri tenggorok, demam, nyeri kepala, ataupun pembengkakan kelenjar getah bening. Antibiotika sendiri menjadi indikasi jika pada pemeriksaan kultur dan resistensi ditemukan bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A, dengan tujuan mengeradikasi kuman dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul akibat tonsillitis akut atau berulang, di antaranya:
1. Abses peritonsilar (quinsy) : Biasanya timbul pada pasien dengan tonsillitis berulang atau kronis yang tidak mendapat terapi yang adekuat.
2. Abses parafaringeal : Timbul jika infeksi atau pus (cairan abses) mengalir dari tonsil atau abses peritonsilar melalui otot konstriktor superior, sehingga formasi abses terbentuk di antara otot ini dan fascia servikalis profunda. Komplikasi ini berbahaya karena terdapat pada area di mana pembuluh darah besar berada dan menimbulkan komplikasi serius.
3. Abses retrofaringeal : Keadaan ini biasanya disertai sesak nafas (dyspnea), ganggaun menelan, dan benjolan pada dinding posterior tenggorok, dan bisa menjadi sangat berbahaya bila abses menyebar ke bawah ke arah mediastinum dan paru-paru.
4. Adenitis servikalis supuratif
5. Tonsilolith : Tonsilolith adalah kalkulus di tonsil akibat deposisi kalsium, magnesium karbonat, fosfat, dan debris pada kripta tonsil membentuk benjolan keras. Biasanya menyebabkan ketidaknyamanan, bau mulut, dan ulserasi (ulkus bernanah).
6. Kista tonsil : Umumnya muncul sebagai pembengkakan pada tonsil berwarna putih atau kekuningan sebagai akibat terperangkapnya debris pada kripta tonsil oleh jaringan fibrosa.
7. Komplikasi sistemik : Kebanyakan komplikasi sistemik terjadi akibat infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A. Di antaranya: radang ginjal akut (acute glomerulonephritis), demam rematik, dan bakterial endokarditis yang dapat menimbulkan lesi pada katup jantung.

Penanganan tonsillitis bisa sangat bervariasi tergantung dari perjalanan penyakitnya sendiri, mulai dari penanganan konvensional hingga tindakan pembedahan seperti tonsilektomi dan adenoidektomi. Jika pun keputusan pembedahan yang diambil, maka harus berdasarkan indikasi yang jelas dan telah mempertimbangkan cost/benefit ratio dari tindakan tersebut, selain itu telah diperhitungkan komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa indikasi untuk tonsilektomi/adenoidektomi antara lain: tonsillitis rekuren atau kronis dengan kriteria yang telah ditentukan, difteria yang tidak berespon terhadap terapi medikamentosa, demam rematik, tonsillitis yang berkaitan dengan infeksi telinga tengah atau sinusitis maksilaris, formasi abses, obstruksi jalan napas, dugaan keganasan tonsil, dan lain sebagainya.