
Tentang sistem pembuluh darah hidung.

Arteri karotis interna memberikan kontribusi pada sistem vaskularisasi hidung, terutama lewat cabangnya, A. ophtalmicus.
Pleksus Kiesselbach atau Little area, terletak di bagian anterior tulang rawan septum. Setiap cabang arteri yang mensuplai hidung ke area ini saling berhubungan membentuk anastomosis.
Bagaimana epistaksis bisa terjadi?
Secara fungsional, epistaksis dibagi menjadi anterior dan posterior berdasarkan letak abnormalitas mukosa hidung. Dikategorikan anterior bila sumber perdarahannya berada di depan ostium sinus maksilaris, dan posterior bila di belakangnya. Lokasi perdarahan anterior termasuk area yang disuplai oleh A. etmoidalis anterior, terutama pleksus Kiesselbach's di septum hidung bagian anterior. Epistaksis anterior sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering dialami oleh orang tua dengan hipertensi atau arterisklerosis.
Pada prinsipnya….. berbagai lesi dan kelainan anatomis bisa menyebabkan perdarahan anterior maupun posterior. Kelainan sistemik juga sangat dapat menimbulkan efek pada mukosa hidung. Jika tidak ada kelainan yang berorientasi anatomis maupun lesi, maka epistaksis sebaiknya dipertimbangkan sebagai hasil dari koagulopati, sampai dibuktikan penyebab lain.
Mengingat penyebab epistaksis sangat bervariasi dan bersifat multifaktor, maka secara umum faktor kausa epistaksis dapat diklasifikasikan ke dalam faktor lokal (trauma, iritasi mukosa, abnormalitas septum, penyakit inflamasi,, dan tumor), faktor sistemik (blood dyscrasias, arteriosklerosis, hereditary hemorrhagic telangiectasia), dan kasus idiopatik.
1. Trauma :
•Trauma karena kebiasaan mengupil dapat menyebabkan ulkus dan perdarahan mukosa septum hidung. Ini sering timbul pada anak.
•Trauma akut pada wajah dan hidung tidak jarang menyebabkan epistaksis. Jika timbul laserasi kecil saja pada mukosa, perdarahannya biasanya juga minimal. Namun suatu trauma wajah berat kerap menimbulkan epistaksis berat yang memerlukan tindakan khusus untuk menghentikannya, misalnya dengan tampon hidung. Selain itu perdarahan lambat (delayed epistaxis) yang timbul pasca trauma merupakan sinyal adanya traumatic aneurysm.
•Pasien yang menjalani bedah hidung juga berpotensi epistaksis. Sebagimana trauma hidung, epistaksis yang timbul juga bisa ringan (karena laserasi mukosa) hingga berat (karena terputusnya pembuluh darah mayor).
2. Iritasi mukosa: cuaca panas dan/atau kering, serta obat semprot hidung bisa menyebabkan iritasi dan epistaksis.
3. Abnormalitas septum: deviasi septum dan/atau septum yang terkoyak dapat menganggu aliran udara di hidung shg menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Kebanyakan perdarahan timbul di depan dari koyakan septum.
4. Inflamasi:
•Rinosinusitis bakterial, viral, dan alergik menimbulkan inflamasi/peradangan yang kemudian menyebabkan epistaksis, meski biasanya ringan dan bercampur dengan lendir hidung.
•Penyakit granulomatosis seperti sarkoidosis, wegener granulomatosis, tuberkulosis, sifilis, and rinoskleroma sering menyebabkan krusta dan menimbulkan epistaksis berulang.
5. Tumor: baik tumor jinak maupun ganas dapat menimbulkan epistaksis, yang biasanya disertai gejala sumbat hidung (nasal obstruction) dan rinosinusitis.
6. Blood dyscrasias: suatu kelainan koagulopati, bisa ‘kongenital’ maupun ‘didapat’. Koagulopati ‘kongenital’ menjadi suspek bila terdapat riwayat positif pada keluarga, mudah biru-biru, atau perdarahan memanjang saat mengalami trauma kecil ataupun pembedahan, contohnya antara lain hemofilia dan penyakit von Willebrand. Untuk koagulopati ‘didapat’, bisa bersifat primer (berkaitan dengan penyakit tertentu) atau sekunder (berkaitan dengan terapi). Koagulopati ‘didapat’ sering timbul pada keadaan trombositopenia dan penyakit hati di mana terjadi penurunan faktor-faktor pembekuan (koagulan). Selain itu pada pasien alkoholik, imunodefisiensi, dan kelainan limfoproliferatif di mana terjadi penurunan faktor pembekuan dan jumlah platelet yang rendah, epistaksis yang terjadi biasanya sangat sulit dikontrol.
7. Hereditary hemorrhagic telangiectasia atau Osler-Rendu-Weber disease adalah penyakit autosomal dominan. Kelainannya terletak pada minimnya elemen kontraktil (jaringan elastik dan muskular) pada dinding pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri, yang kemudian menimbulkan formasi telengiektasia (dilatasi venula dan kapiler) dan malformasi arteriovenous pada kulit atau lapisan mukosa saluran aerodigestivus. Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan, bahkan oleh trauma kecil sekalipun. Penderita biasanya mengalami epistaksis dan perdarahan gastrointestinal berulang, dan perlu ratusan kali transfusi selama hidupnya.
Penanganan epistaksis
A. Penanganan umum:
1.Pasien dengan perdarahan hidung biasa mengontrol hal tersebut dengan melakukan penekanan langsung ataupun mengaplikasikan suatu obyek dingin pada hidung.
2.Jika upaya tersebut gagal, pasien biasanya akan langsung mengontak atau pergi ke rumah sakit atau unit gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan.
3.Pendekatan pertama yang biasa dilakukan adalah kauterisasi ataupun pemasangan tampon hidung (nasal packing). Kauterisasi bermanfaat hanya jika sumber perdarahan pada mukosa hidung jelas terlihat. Kebanyakan epistaksis berhasil ditangani dengan pemasangan tampon di dalam hidung, karena selain mempertahankan mukosa hidung tetap lembab, juga bertindak sebagai tamponade untuk perdarahannya. Tampon hidung sendiri bisa berupa tampon posterior ataupun anterior tergantung letak sumber perdarahannya. Perlu diperhatikan bahwa saat melakukan pemasangan tampon, penempatannya harus tepat, dan tetap waspada terhadap potensi komplikasi, antara lain: trauma, infeksi, dehidrasi, dan tentu saja berubahnya ventilasi akibat obstruksi aliran udara lewat hidung, sehingga penderita akan menghirup udara melalui mulut yang akan berpengaruh terhadap mekanisme fisiologis pernapasan paru.
4.Langkah lainnya dalam penanganan epistaksis adalah termasuk menilai derajat kehilangan darah dan perlu tidaknya transfusi. Penyakit yang mendasari juga harus dicari dan diobati secara tepat.
5.Pada kasus trauma, penanganan tepat dan segera terhadap setiap kondisi yang membahayakan jiwa diprioritaskan terlebih dahulu. Manajemen terhadap jalan napas (airway) dan penggantian cairan tubuh sangat penting, dan di saat yang sama juga dibutuhkan tindakan emergensi untuk mengontrol epistaksis dan melindungi jalan napas. Untuk tujuan ini biasanya dilakukan pemasangan folley catheter yang diinflasikan di daerah nasofaring (area di belakang hidung) dan ditarik dari lubang hidung depan untuk menekan area perdarahan potensial di bagian belakang hidung sekaligus melindungi jalan napas.
B. Penanganan khusus:
1.Pendekatan lainnya adalah dengan melakukan ligasi pembuluh darah yang mensuplai darah ke hidung. Pilihan untuk ligasi dilakukan jika penanganan melalui kauterisasi maupun tampon hidung gagal.Pertimbangan lainnya dari intervensi vaskuler secara dini ini adalah kenyamanan pasien, masa perawatan di rumah sakit, dan kefektivan secara keseluruhan. Secara umum ligasi A. maksilaris lebih efektif dibandingkan A. karotis eksterna, mengingat ligasi pada A. karotis eksterna masih memungkinkan suplai darah ke lokasi perdarahan melalui sistem vaskularisasi kolateral, di samping komplikasi serius yang mungkin timbul, seperti stroke dan trauma vaskuler.
2.Pendekatan terkini dari intervensi vaskuler secara langsung adalah visualisasi angiografi dan embolisasi cabang terminal A. maksilaris.
3.Dari sekian banyak pendekatan dalam penanganan epistaksis, sebenarnya yang paling penting adalah kehati-hatian dalam mengevaluasi kondisi penderita, serta identifikasi letak perdarahan secara akurat. Dan pilihan yang diambil… apapun itu, harus benar-benar dipertimbangkan berdasarkan kondisi yang ada, resiko maupun keuntungan dari setiap tindakan.