OTO RHINO LARYNGOLOGY

Senin, 19 Mei 2008

Mimisan (Epistaksis) …. Berbahayakah?

Epistaksis atau perdarahan dari hidung sering terjadi dengan manifestasi klinik yang bervariasi. Kebanyakan episode epistaksis sembuh spontan (self-limiting) atau dapat ditangani oleh penderita. Kalaupun ada yang berobat, biasanya akibat epistaksis berulang/beratnya perdarahan yang timbul. Sebagai estimasi, sekitar 5-10% penderita butuh penanganan ahli THT dan memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit, transfusi darah, ataupun intervensi bedah untuk menghentikan suplai darah pada beberapa kasus. Epistaksis bisa saja berbahaya, terutama jika dialami oleh penderita usia tua dan ada penyakit yang mendasarinya. Jika tidak ditangani dengan baik, epistaksis dapat mempengaruhi kerja jantung dan gangguan respirasi, maupun sepsis… yang bisa berakibat kematian !!

Tentang sistem pembuluh darah hidung.

Hidung kita kaya pembuluh darah, yang berasal dari Arteri karotis eksterna dan interna (A. karotis eksterna & interna). A. karotis eksterna mensuplai darah ke hidung lewat A. maksilaris interna dan A. fasialis. Cabang terminal A. fasialis yaitu A. labialis superior, mensuplai darah ke dasar hidung dan septum bagian anterior. Sedangkan A. maksilaris interna akan masuk fossa pterigomaksilaris dan kemudian membentuk 6 percabangan arteri, yaitu: posterior superior alveolar, descending palatine, infraorbital, sphenopalatine, pterygoid canal, dan pharyngeal. A.descending palatine berjalan ke bawah melalui kanalis palatina mayor dan mensuplai darah ke dinding lateral hidung, serta juga septum hidung bagian anterior lewat percabangan ke foramen incisivus. Adapun A. sfenopalatin masuk hidung dekat area perlekatan posterior konka media untuk kemudian mensuplai dinding lateral hidung, dan juga memberikan percabangannya ke septum hidung anterior.
Arteri karotis interna memberikan kontribusi pada sistem vaskularisasi hidung, terutama lewat cabangnya, A. ophtalmicus.

Pleksus Kiesselbach atau Little area, terletak di bagian anterior tulang rawan septum. Setiap cabang arteri yang mensuplai hidung ke area ini saling berhubungan membentuk anastomosis.


Bagaimana epistaksis bisa terjadi?

Secara fungsional, epistaksis dibagi menjadi anterior dan posterior berdasarkan letak abnormalitas mukosa hidung. Dikategorikan anterior bila sumber perdarahannya berada di depan ostium sinus maksilaris, dan posterior bila di belakangnya. Lokasi perdarahan anterior termasuk area yang disuplai oleh A. etmoidalis anterior, terutama pleksus Kiesselbach's di septum hidung bagian anterior. Epistaksis anterior sering terjadi pada anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering dialami oleh orang tua dengan hipertensi atau arterisklerosis.

Pada prinsipnya….. berbagai lesi dan kelainan anatomis bisa menyebabkan perdarahan anterior maupun posterior. Kelainan sistemik juga sangat dapat menimbulkan efek pada mukosa hidung. Jika tidak ada kelainan yang berorientasi anatomis maupun lesi, maka epistaksis sebaiknya dipertimbangkan sebagai hasil dari koagulopati, sampai dibuktikan penyebab lain.

Mengingat penyebab epistaksis sangat bervariasi dan bersifat multifaktor, maka secara umum faktor kausa epistaksis dapat diklasifikasikan ke dalam faktor lokal (trauma, iritasi mukosa, abnormalitas septum, penyakit inflamasi,, dan tumor), faktor sistemik (blood dyscrasias, arteriosklerosis, hereditary hemorrhagic telangiectasia), dan kasus idiopatik.

1. Trauma :
•Trauma karena kebiasaan mengupil dapat menyebabkan ulkus dan perdarahan mukosa septum hidung. Ini sering timbul pada anak.
•Trauma akut pada wajah dan hidung tidak jarang menyebabkan epistaksis. Jika timbul laserasi kecil saja pada mukosa, perdarahannya biasanya juga minimal. Namun suatu trauma wajah berat kerap menimbulkan epistaksis berat yang memerlukan tindakan khusus untuk menghentikannya, misalnya dengan tampon hidung. Selain itu perdarahan lambat (delayed epistaxis) yang timbul pasca trauma merupakan sinyal adanya traumatic aneurysm.
•Pasien yang menjalani bedah hidung juga berpotensi epistaksis. Sebagimana trauma hidung, epistaksis yang timbul juga bisa ringan (karena laserasi mukosa) hingga berat (karena terputusnya pembuluh darah mayor).
2. Iritasi mukosa: cuaca panas dan/atau kering, serta obat semprot hidung bisa menyebabkan iritasi dan epistaksis.
3. Abnormalitas septum: deviasi septum dan/atau septum yang terkoyak dapat menganggu aliran udara di hidung shg menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Kebanyakan perdarahan timbul di depan dari koyakan septum.
4. Inflamasi:
•Rinosinusitis bakterial, viral, dan alergik menimbulkan inflamasi/peradangan yang kemudian menyebabkan epistaksis, meski biasanya ringan dan bercampur dengan lendir hidung.
•Penyakit granulomatosis seperti sarkoidosis, wegener granulomatosis, tuberkulosis, sifilis, and rinoskleroma sering menyebabkan krusta dan menimbulkan epistaksis berulang.
5. Tumor: baik tumor jinak maupun ganas dapat menimbulkan epistaksis, yang biasanya disertai gejala sumbat hidung (nasal obstruction) dan rinosinusitis.
6. Blood dyscrasias: suatu kelainan koagulopati, bisa ‘kongenital’ maupun ‘didapat’. Koagulopati ‘kongenital’ menjadi suspek bila terdapat riwayat positif pada keluarga, mudah biru-biru, atau perdarahan memanjang saat mengalami trauma kecil ataupun pembedahan, contohnya antara lain hemofilia dan penyakit von Willebrand. Untuk koagulopati ‘didapat’, bisa bersifat primer (berkaitan dengan penyakit tertentu) atau sekunder (berkaitan dengan terapi). Koagulopati ‘didapat’ sering timbul pada keadaan trombositopenia dan penyakit hati di mana terjadi penurunan faktor-faktor pembekuan (koagulan). Selain itu pada pasien alkoholik, imunodefisiensi, dan kelainan limfoproliferatif di mana terjadi penurunan faktor pembekuan dan jumlah platelet yang rendah, epistaksis yang terjadi biasanya sangat sulit dikontrol.
7. Hereditary hemorrhagic telangiectasia atau Osler-Rendu-Weber disease adalah penyakit autosomal dominan. Kelainannya terletak pada minimnya elemen kontraktil (jaringan elastik dan muskular) pada dinding pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri, yang kemudian menimbulkan formasi telengiektasia (dilatasi venula dan kapiler) dan malformasi arteriovenous pada kulit atau lapisan mukosa saluran aerodigestivus. Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi perdarahan, bahkan oleh trauma kecil sekalipun. Penderita biasanya mengalami epistaksis dan perdarahan gastrointestinal berulang, dan perlu ratusan kali transfusi selama hidupnya.

Penanganan epistaksis


A. Penanganan umum:
1.Pasien dengan perdarahan hidung biasa mengontrol hal tersebut dengan melakukan penekanan langsung ataupun mengaplikasikan suatu obyek dingin pada hidung.
2.Jika upaya tersebut gagal, pasien biasanya akan langsung mengontak atau pergi ke rumah sakit atau unit gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan.
3.Pendekatan pertama yang biasa dilakukan adalah kauterisasi ataupun pemasangan tampon hidung (nasal packing). Kauterisasi bermanfaat hanya jika sumber perdarahan pada mukosa hidung jelas terlihat. Kebanyakan epistaksis berhasil ditangani dengan pemasangan tampon di dalam hidung, karena selain mempertahankan mukosa hidung tetap lembab, juga bertindak sebagai tamponade untuk perdarahannya. Tampon hidung sendiri bisa berupa tampon posterior ataupun anterior tergantung letak sumber perdarahannya. Perlu diperhatikan bahwa saat melakukan pemasangan tampon, penempatannya harus tepat, dan tetap waspada terhadap potensi komplikasi, antara lain: trauma, infeksi, dehidrasi, dan tentu saja berubahnya ventilasi akibat obstruksi aliran udara lewat hidung, sehingga penderita akan menghirup udara melalui mulut yang akan berpengaruh terhadap mekanisme fisiologis pernapasan paru.
4.Langkah lainnya dalam penanganan epistaksis adalah termasuk menilai derajat kehilangan darah dan perlu tidaknya transfusi. Penyakit yang mendasari juga harus dicari dan diobati secara tepat.
5.Pada kasus trauma, penanganan tepat dan segera terhadap setiap kondisi yang membahayakan jiwa diprioritaskan terlebih dahulu. Manajemen terhadap jalan napas (airway) dan penggantian cairan tubuh sangat penting, dan di saat yang sama juga dibutuhkan tindakan emergensi untuk mengontrol epistaksis dan melindungi jalan napas. Untuk tujuan ini biasanya dilakukan pemasangan folley catheter yang diinflasikan di daerah nasofaring (area di belakang hidung) dan ditarik dari lubang hidung depan untuk menekan area perdarahan potensial di bagian belakang hidung sekaligus melindungi jalan napas.

B. Penanganan khusus:
1.Pendekatan lainnya adalah dengan melakukan ligasi pembuluh darah yang mensuplai darah ke hidung. Pilihan untuk ligasi dilakukan jika penanganan melalui kauterisasi maupun tampon hidung gagal.Pertimbangan lainnya dari intervensi vaskuler secara dini ini adalah kenyamanan pasien, masa perawatan di rumah sakit, dan kefektivan secara keseluruhan. Secara umum ligasi A. maksilaris lebih efektif dibandingkan A. karotis eksterna, mengingat ligasi pada A. karotis eksterna masih memungkinkan suplai darah ke lokasi perdarahan melalui sistem vaskularisasi kolateral, di samping komplikasi serius yang mungkin timbul, seperti stroke dan trauma vaskuler.
2.Pendekatan terkini dari intervensi vaskuler secara langsung adalah visualisasi angiografi dan embolisasi cabang terminal A. maksilaris.
3.Dari sekian banyak pendekatan dalam penanganan epistaksis, sebenarnya yang paling penting adalah kehati-hatian dalam mengevaluasi kondisi penderita, serta identifikasi letak perdarahan secara akurat. Dan pilihan yang diambil… apapun itu, harus benar-benar dipertimbangkan berdasarkan kondisi yang ada, resiko maupun keuntungan dari setiap tindakan.

Minggu, 18 Mei 2008

Cotton Bud ?? .... Jangan pernah menaruhnya di telinga !!


Telinga luar terdiri dari daun telinga berbentuk corong di sisi kepala ditambah dengan saluran telinga (liang telinga) yang panjangnya pada orang dewasa bervariasi dekitar 2.5 – 3 cm. Bentuk saluran telinga mirip ‘jam gelas’ yang menyempit di tengah, selain itu ia tidak lurus tapi lebih mirip bentuk huruf S kurus.
Kulit liang telinga bagian paling luar (± 1/3 luar) memiliki kelenjar khusus penghasil serumen (wax) atau orang bilang “kotoran telinga”, padahal sebenarnya paradigma ini salah… kenapa? Karena wax sendiri sebenarnya berguna untuk menyaring partikel debu dan partikel kecil lainnya untuk tidak masuk lebih ke dalam yang berpotensi merusak gendang telinga. Normalnya, wax ini akan berakumulasi dan kemudian mengering.. lantas bermigrasi ke arah luar sambil membawa berbagai partikel tadi. Apalagi ternyata wax mengandung banyak unsur yang mampu menghambat atau membunuh kuman dari luar yang ikut masuk ke dalam.

Nah, liang telinga dapat tersumbat (sering diistilahkan dengan blokade atau impaksi) oleh wax jika wax ini terdorong lebih ke dalam. Sekitar 6% blokade wax menjadi masalah telinga yang sering dikeluhkan. Gejalanya sendiri mulai dari telinga terasa penuh, nyeri telinga, diziness, telinga berdenging atau bising (tinitus), hingga gangguan pendengaran yang mungkin bersifat progresif.

Haruskah kita membersihkan telinga?

Pertimbangkan fakta di bawah ini…..

1. Sekali lagi, wax tidak dihasilkan oleh liang telinga sebelah dalam yang dekat dengan gendang telinga, tapi hanya oleh bagian luar saja. Maka jika seseorang mengeluh telinga tersumbat, kebanyakan karena pemakaian cotton bud, peniti, klip, ujung tisu, atau apapun… yang semuanya cuma menyebabkan terdorongnya wax lebih ke dalam. Selain itu kulit liang telinga sangat tipis dan fragil sehingga mudah trauma.
2. Wax itu sehat dalam jumlah tertentu dan melapisi kulit liang telinga yang secara temporer berfungsi sebagai penangkis partikel kecil dan air. Tidak adanya wax dapat menyebabkan kekeringan dan telinga gatal.
3. Hampir sepanjang waktu, secara otomatis telinga kita mampu membersihkan dirinya sendiri (self-cleaning), yaitu: bergeraknya kulit liang telinga secara lambat dan bermigrasi dari arah dalam ke luar, sehingga wax lama (old wax) secara konstan akan dikeluarkan.
4. Pada keadaan ideal, kita sebaiknya jangan pernah membersihkan liang telinga. Hanya memang keadaan ideal tidak akan selalu berlangsung, hingga jika memang ingin telingannya dibersihkan, gunakan saja kain yang ditambatkan pada ujung jari.. tapi jangan masukan apapun ke liang telinga.
5. Membersihkan telinga dengan benda/obyek yang dimasukkan ke dalam liang telinga bukan tidak mungkin menyebabkan komplikasi, seperti: rusaknya gendang telinga, infeksi liang telinga, ataupun infeksi telinga tengah.

Bagaimana cara menangani serumen (wax) di rumah ?

Jika anda yakin bahwa gendang telinga tidak bolong…., maka bisa dicoba beberapa cara di bawah ini:
1. Teteskan mineral oil hangat, baby oil, gliserin, ataupun tetes telinga wax yang banyak tersedia bebas di apotik, dengan maksud untuk melunakkan wax, dan biarkan keluar dengan sendirinya atau dengan cara memiringkan kepala setelah 5 menit. Cara ini cukup efektif untuk kebanyakan penderita, dan jarang menimbulkan reaksi alergi.
2. Selain bahan di atas, detergen drop, seperti hidrogen peroksida (H2O2) atau karbamid peroksida bisa pula digunakan untuk membantu mengeluarkan wax. Hanya perlu diketahui bahwa membersihkan liang telinga dengan H2O2 menyebabkan gelembung oksigen hilang dan air menjadi terperangkap di belakang wax, dan air hangat yang terperangkap ini menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
3. Bisa pula anda siapkan alat suntikan dengan jarum yang tumpul untuk menyemprotkan air hangat ke dalam liang telinga secara perlahan, karena jika terlampau keras bisa menimbulkan kerusakan gendang telinga. Selain itu cara ini bisa juga menyebabkan anda menjadi limbung sesaat karena terangsangnya pusat keseimbangan di dalam telinga. Karena itu… hati-hatilah dengan cara ini.

Beberapa hal yang harus diperhatikan !!

1. Jika upaya mengeluarkan wax di rumah gagal
2. Jika anda menduga gendang telinga bolong (riwayat infeksi telinga, kebisingan, atau telinga sakit bila mendengar suara yang keras)
3. Jika terbukti adanya cairan keluar dari telinga
4. Jika saat membersihkan wax, timbul:
a. Nyeri telinga, demam, ataupun gangguan pendengaran yang berlanjut
b. Kepala berputar, hilang keseimbangan, atau jalan menjadi tidak ajeg
c. Rasa mual dan demam tinggi
d. Tuli mendadak
Maka segera ke dokter atau rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.

…… TIPS !!

Earwax blockage can be prevented by avoiding the use of cotton-tipped swabs or Q-tips and other objects that push the wax deeper into the ear canal.

Selasa, 13 Mei 2008

TELINGA BERDENGING... Anda mengalaminya?


Telinga berdenging atau dikenal dalam bahasa medis sebagai Tinitus, banyak dikeluhkan sebagai suatu bising atau bunyi yang muncul di kepala. Meski istilah tersebut (bahasa latin tinnere = ringing) seringkali dipakai untuk suara seperti dengungan (buzzing), deringan (ringing), atau gemuruh (roaring), juga termasuk di dalamnya ketukan berirama (pulsatile beats), klik, dan suara lainnya yang dapat berasal/tidak berasal dari telinga sendiri. Karena itu tinitus bukanlah penyakit atau sindroma, tapi hanya merupakan gejala yang mungkin berasal dari satu atau sejumlah kelainan.

Sebetulnya suara yang terdengar oleh telinga tersebut belum tentu bersifat kelainan (patologis)…. Jika orang sehat (terbukti telinganya normal) berada dalam ruang kedap (anehoic chamber), maka ia akan dapat mendengar berbagai macam suara yang berasal dari berbagai organ tubuhnya sendiri yang memang bekerja setiap saat, contohnya: pernafasan, kontraksi jantung, dan aliran darah. Kenyataannya… dalam kehidupan sehari-hari, suasana yang memungkinkan suara fisiologis (normal) tersebut terdengar oleh seseorang sangat jarang tercipta… bahkan dalam kamar yang sunyi di malam hari sekalipun, yang tetap memiliki bunyi masking dari lingkungan dengan intensitas bunyi sekitar 25 – 30 dB. Tinitus baru menjadi gejala jika suara organ tubuh intensitasnya melebihi bunyi masking lingkungan tadi.

Tinitus kerap diderita terutama orang pada kelompok usia pertengahan dan tua. Menurut National Centre for Health Statistics di Amerika sana, sekitar 32% orang dewasa pernah mengalami tinitus pada suatu saat tertentu dalam hidupnya, dan 6 % nya sangat menganggu dan cukup sulit disembuhkan. Di Inggris, 17% populasi juga memiliki masalah tinitus. Sayangnya di Indonesia belum ada data statistiknya, namun berdasarkan pengalaman empiris, penderita tinitus cukup banyak dan sering ditemui di tempat praktek, klinik, maupun rumah sakit. Meski tinitus bukanlah keadaan yang membahayakan, munculnya gejala ini pada hampir kebanyakan orang sangat mengganggu dan sering mempengaruhi kualitas hidup dan pekerjaannya.

Tinitus sendiri diklasifikasikan menjadi tinitus obyektif dan subyektif. Tinitus bersifat obyektif bila bunyi yang dipersepsikan oleh penderita juga dapat didengar oleh orang lain atau pemeriksa, dan bersifat subyektif bila bunyi dipersepsikan hanya oleh penderitanya saja. Secara umum tinitus obyektif diyakini berasal dari suatu sumber suara akustik (ataupun getaran/vibrasi) yang dapat teridentifikasi. Adapun tinitus subyektif dianggap berasal dari adanya abnormalitas pada jalur saraf pendengaran perifer dan/atau sentral. Tinitus juga dapat diklasifikasikan ke dalam pulsatil atau non pulsatil, yang mengindikasikan sumber penyebabnya berasal dari sistem vaskular (pembuluh darah). Pulsatil tinitus bisa obyektif ataupun subyektif.

Kenyataannya pada kebanyakan kasus, tinitus jauh lebih kompleks dari yang bisa diduga berdasarkan pengklasifikasian di atas, maka tampaknya lebih akurat bila membagi tinitus berdasarkan kemungkinan sumber penyebab yang ternyata tidak sedikit. Berikut ini daftar berbagai hal yang hingga saat ini telah teridentifikasi dapat menjadi sumber penyebab tinitus:
1. Kelainan vaskular (pembuluh darah) baik pada arteri atau vena.
2. Kelainan muskular (otot): klonus otot palatum atau tensor timpani.
3. Lesi pada saluran telinga dalam (internal auditory canal): Tumor saraf ke-8, vascular loops
4. Gangguan kokhlea (organ telinga dalam): trauma akibat bising, trauma tulang temporal, penyakit Meniere’s, presbikusis (disintegrasi saraf ke-8 karena proses penuaan), Sudden sensorineural hearing loss (tuli saraf mendadak), emisi otoakustik.
5. Ototoksisitas (Kerusakan organ telinga dalam akibat obat): aspirin, kuinin, dan antibiotika tertentu (aminoglikosida).
6. Kelainan telinga tengah: infeksi (efusi), sklerosis, gangguan tuba eustachi.
7. Lain-lain: serumen (kotoran telinga), benda asing pada saluran telinga luar.

Penanggulangan:

Penanggulangan dan hasil pengobatan gejala tinitus pada seorang penderita dengan demikian akan sangat bervariasi tergantung dari sumber penyebabnya, dan apakah berhasil diidentifikasi atau tidak?....Sehingga anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang teliti dan memadai dari seorang dokter benar-benar dibutuhkan untuk mendapat hasil yang lebih baik.

A. Medikamentosa:

Berbagai penelitian untuk menemukan jenis obat masih terus dilakukan. Adapun jenis obat yang dapat secara konsisten efektif pada pengobatan jangka panjang belum juga ditemukan. Meski demikian pemakaian beberapa jenis obat sedikit banyak dapat memberikan perbaikan pada pasien tinitus, seperti:
1. Niacin dan derivatnya: nicotinamide (vasodilator) yg secara empiris telah digunakan secara luas untuk kelainan kokhlea (contoh: penyakit Meniere’s)
2. Trimetazidine: obat anti iskemia dengan antioksidan
3. Vitamin A: pada dosis tinggi dilaporkan memperbaiki ambang persepsi dan mencegah tinnitus. Namun perhatian terhadap toksisitasnya dapat membatasi vitamin A dalam penggunaan praktis.
4. Lidokain intravena: suatu golongan anestetik local amide dengan aktivitas system saraf pusat, dilaporkan berguna dalam mengontrol tinnitus.
5. Tocainine: merupakan lidokain oral dengan waktu paruh yang panjang.
6. Trisiklik trimipramine: suatu anti depresan

B. Pembedahan:

Pembedahan juga berperan dalam penanganan tinnitus jika diaplikasikan untuk mengoreksi sumber penyebab. Misalnya: stapedektomi untuk kelainan otosklerotik, lainnya adalah koklear implant. Pertimbangan juga dapat diberikan untuk melakukan terhadap pengikatan saraf ke-8 divisi koklearis, walaupun hasilnya tidak dapat diprediksikan.. dan tentu saja hanya bisa dilakukan terhadap pasien yang memang fungsi pendengarannya sudah rusak berat alias tuli berat yang tidak mungkin lagi dikoreksi.

C. Masking:

Prinsip dari masking adalah mengaplikasikan suatu nada akustik tertentu yang memiliki karakteristik yang sama dengan tinitus (ukuran frekuensi dan intensitas) sehingga bunyi menjadi tidak terdengar, melalui suatu alat khusus, diantaranya telah didisain menyerupai alat bantu dengar (hearing aid) namun tanpa mikrofon.

D. Pengobatan lainnya:

Stimulasi listrik pada area tulang temporal dan gendang telinga, dengan keberhasilan yang bervariasi dalam mengurangi tinnitus. Modifikasi diet, biofeedback, akupunktur, dan oksigen hiperbarik juga telah diusulkan untuk mengontrol tinitus, dan dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif jika penanganan konvensional sebelumnya gagal.