OTO RHINO LARYNGOLOGY

Minggu, 14 September 2008

Otitis Media Efusi

Sebelum membicarakan tentang otitis media Efusi (OME), akan lebih baik bila kita memahami terminologi berikut ini:

Otitis media adalah peradangan pada telinga tengah dan sistem sel udara mastoid.
Otitis media efusi (OME) adalah peradangan telinga tengah dan mastoid yang ditandai dengan akumulasi cairan di telinga tengah tanpa disertai tanda atau gejala infeksi akut.
Otitis media akut (OMA) adalah proses infeksi yang ditentukan oleh adanya cairan di telinga tengah dan disertai tanda dan gejala seperti nyeri telinga (otalgia), rasa penuh di telinga atau gangguan dengar, serta gejala penyerta lainnya tergantung berat ringannya penyakit, antara lain: demam, iritabilitas, letargi, anoreksia, vomiting, bulging hingga perforasi membrana timpani, yang dapat diikuti dengan drainase purulen.
Otitis media kronik (OMK) adalah proses peradangan di telinga tengah dan mastoid yang menetap > 12 minggu.

Otitis Media Efusi (OME)

Penyakit ini dikenal pula dengan serous otitis media, glue ear, dan non purulen otitis media. OME adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada anak. Pada populasi anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan short-term menyertai suatu infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), ataupun sebagai proses kronis yang disertai gangguan dengar berat, keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa, gangguan keseimbangan, hingga perubahan struktur membrana timpani dan tulang pendengaran.

Patogenesis OME

Kondisi yang dianggap sebagai penyebab utama munculnya OME adalah setiap keadaan yang mempengaruhi muara/ujung proksimal tuba eustachius (TE) di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens dari TE. TE dianggap sebagai katup (valve) penghubung telinga tengah dan nasofaring. Struktur ini menjamin ventilasi telinga tengah, sehingga menjaga tekanan tetap ekual di kedua sisi gendang telinga (membrana timpani = MT). Karena itu berbagai keadaan yang merubah integritas normal TE dapat menyebabkan akumulasi cairan di telinga tengah dan mastoid. Akumulasi ini dapat diikuti proses infeksi, sebagai akibat sekunder dari infeksi yang menjalar ke atas melalui TE, menghasilkan otitis media dan kemungkinan mastoiditis.
Edema faring dan peradangan akibat ISPA biasanya berefek terhadap ujung proksimal TE di nasofaring ataupun mekanisme mukosiliari klirens TE. Keadaan lain seperti: alergi hidung, barotrauma, penekanan terhadap muara/torus tuba oleh massa seperti adenoid yang membesar ataupun tumor di nasofaring, abnormalitas anatomi TE ataupun deformitas celah palatum, benda asing seperti nasogastrik atau nasotrakeal tube, dapat pula menjadi faktor predisposisi.

Mengapa anak usia prasekolah rentan terhadap OME?

Statistik menunjukkan 80-90% anak prasekolah pernah menderita OME. Saat lahir TE berada pada bidang paralel dengan dasar tengkorak, sekitar 10 derajat dari bidang horisontal, dan memiliki lumen yang pendek dan sempit. Semakin bertambah usia, terjadi perubahan bermakna, terutama saat mencapai usia 7 tahun, di mana lumen TE lebih panjang dan lebar, serta ujung proksimal TE di nasofaring terletak 2-2.5 cm di bawah orifisium TE di telinga tengah atau membentuk sudut 45 derajat terhadap bidang horisontal telinga. Dengan struktur yang demikian, pada anak usia < 7 tahun, sekresi dari nasofaring lebih mudah mencapai telinga tengah dan membawa kuman patogen ke telinga tengah. Selain itu inflamasi ringan saja sudah dapat menyumbat lumen TE yang sempit. Selain itu terdapat pula beberapa faktor resiko pada anak, antara lain:

1. Faktor resiko anatomi: anomali kraniofasial, down syndrome, celah palatum, hipertrofi adenoid, dan GERD.

2. Faktor resiko fungsional: serebral palsy, down syndrome, kelainan neurologis lainnya, dan imunodefisiensi.

3. Faktor resiko lingkungan: bottle feeding, menyandarkan botol di mulut pada posisi tengadah (supine position), rokok pasif, status ekonomi rendah, banyaknya anak yang dititipkan di fasilitas penitipan anak.

Sehingga tidak heran bahwa kasus OME berulang (OME rekuren) pun menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi terutama pada anak usia prasekolah, sekitar 28-38%.

Diagnosis OME

Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karana prosesnya sendiri yang kerap tidak bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi baik oleh orang tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.

Lazimnya diagnosis OME dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik telinga dengan menemukan cairan di belakang MT yang normalnya translusen.
Pemeriksaan otoskopik dapat memperlihatkan:
- MT yang retracted (tertarik ke dalam), dull, dan opaque.
- Warna MT bisa merah muda cerah hingga biru gelap.
- Short process maleus terlihat sangat menonjol dan long process tertarik medial dari MT.
- Adanya level udara-cairan (air fluid level) membuat diagnosis lebih nyata.

Beberapa instrumen penunjang juga membantu menegakkan diagnosis OME, antara lain:
- Pneumatic otoscope
- Impedance audiometry (tympanometry): digunakan untuk mengukur perubahan impedans akustik sistem MT-telinga tengah melalui perubahan tekanan udara di telinga luar.
- Pure tone Audiometry: juga banyak digunakan, terutama menilai dari sisi gangguan dengar atau tuli konduktif yang mungkin berasosiasi dengan OME. Meski teknik ini time consuming dan membutuhkan peralatan yang mahal, tetap digunakan sebagai skrining, dimana tuli konduktif berkisar antara derajat ringan hingga sedang.

Pengobatan OME

Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga tengah. Untuk kebanyakan penderita, kondisi ini diperoleh secara alamiah, terutama jika berasosiasi dengan ISPA yang berhasil disembuhkan. Artinya banyak OME yang tidak membutuhkan pengobatan medis. Akan lebih baik menangani faktor predisposisi-nya, misalnya: jika dikarenakan barotrauma, maka aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma berikutnya, seperti: penerbangan atau menyelam, sebaiknya dihindarkan. Strategi lainnya adalah menghilangkan atau menjauhkan dari pengaruh asap rokok, menghindarkan anak dari fasilitas penitipan anak, menghindarkan berbagai alergen makanan atau lingkungan jika anak diduga kuat alergi atau sensitif terhadap bahan2 tersebut.

Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka pengobatan medis mulai diindikasikan, seperti:

1. Antihistamin atau dekongestan.

Rasionalisasi kedua obat ini adalah sebagai hasil komparasi antara sistem telinga tengah dan mastoid terhadap sinus paranasalis. Karena antihistamin dan dekongestan terbukti membantu membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di sinonasal, maka tampaknya logis bahwa keduanya dapat memberikan efek yang sama untuk OME. Jika ternyata alergi adalah faktor etiologi OME, maka kedua obat ini seharusnya memberikan efek yang menguntungkan terhadap OME.

2. Mukolitik.

Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk memperbaiki transport mukus dari telinga tengah melalui TE ke nasofaring. Namun demikian mukolitik ini tidak memegang peranan penting dalam pengobatan OME.

3. Antibiotika.

Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati. Karena OME bukanlah infeksi sebenarnya (true infection). Meskipun demikian OME seringkali diikuti oleh OMA, di samping itu isolat bakteri juga banyak ditemukan pada sampel cairan OME. Organisme tersering ditemukan adalah S. pneumoniae, H. influenzae non typable, M. catarrhalis, dan grup A streptococci, serta Staphyllococcus aureus. Controlled studies menunjukkan antibiotika golongan amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaklor, eritromisin, trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-sulfisoksazole, dapat memperbaiki klirens efusi dalam 1 bulan. Pemberian antibiotika juga meliputi dosis profilaksis yaitu ½ dosis yang digunakan pada infeksi akut. Namun demikian perlu dipertimbangkan pula hubungan antara antibiotika profilaksis dengan tingginya prevalensi dan meningkatnya spesies bakteri yang resisten.

4. Kortikosteroid.

Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi respon inflamasi di kompleks nasofaring-TE dan menstimulasi agent-aktif di permukaan TE dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui TE. Pemberian dapat berupa kortikosteroid oral atau topikal (nasal), ataupun kombinasi. Berdasarkan clinical guidance 1994, pemberian steroid bersama-sama antibiotika pada anak usia 1-3 tahun mampu memperbaiki klirens OME dalam 1 bulan sebesar 25%. Namun demikian karena hanya memberikan hasil jangka pendek dengan kejadian OME rekuren yang tinggi, serta resiko sekuele maka kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan.

Jumat, 12 September 2008

Memahami Telinga Kita ..... Bagaimana ia mendengar?

Harus diakui betapa berharganya telinga bagi kehidupan kita. Karena itu tidakkah kita ingin mengetahui lebih dalam indera yang satu ini?

Jika kita melihat sekilas struktur telinga di kedua sisi kepala ... maka tampaknya sederhana saja. Tapi pernahkan kita sadar betapa mengagumkan struktur di balik daun telinga yang biasa kita lihat? Bagaimana hebatnya ia mengolah bunyi/suara menjadi suatu informasi yang berharga bagi kemajuan intelektualitas seseorang.

Meninjau apa dan bagaimana telinga bekerja?

Telinga tersusun sedemikian rupa hingga ia berfungsi sebagai reseptor suara. Ia memiliki berbagai komponen yang menyebabkan ia layak menjadi sebuah instrumen recorder yang teramat sempurna. Ia memiliki receiver, transmiter, transformator, dan transduktor, serta sistem relay, proteksi, dan amplifikasi.

Secara umum telinga terbagi menjadi 3 bagian, yaitu: telinga luar (external ear), telinga tengah (middle ear), dan telinga dalam (inner ear). Ke-3 bagian telinga ini terletak di dalam tulang temporal kepala. Tulang temporal adalah struktur berbentuk piramidal yang membentuk bagian dasar dan pinggir (lateral) kedua sisi tulang tengkorak. Bagian2 utama tulang temporal adalah segmen tulang skuamosa, petrosa, timpanik, dan mastoid. Pada tulang temporal inilah selain organ pendengaran (koklea) juga tersimpan organ keseimbangan (vestibuler).

TELINGA LUAR

Struktur apa saja yang membentuk telinga luar?

Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna) dan saluran telinga luar (external auditory canal=EAC). Batas medial EAC adalah gendang telinga (membrana timpani=MT). Sekitar 1/3 luar EAC tersusun atas tulang rawan dan mengandung folikel rambut, kelenjar serumentosa, dan kelenjar sebasea (kelenjar minyak). Sedangkan 2/3 dalam EAC tersusun atas tulang, dan tidak mengandung kelenjar. EAC dilapisi kulit sebagai kelanjutan kulit daun telinga. Di bagian dalam, kulit EAC membentuk lapisan terluar MT. Panjang EAC sekitar 2.5-3 cm (orang dewasa), dengan diameter 1 cm, dan bentuknya mirip huruf S kurus. Fungsi utama EAC adalah mengumpulkan dan mengarahkan input suara dari luar menuju MT. Struktur dan panjang EAC juga turut menentukan resonansi frekuensi spesifiknya yaitu antara 3-4 kHz. Ini juga faktor utama yang menjelaskan mengapa noice-induce hearing loss (NIHL = gangguan dengar akibat pajanan bising) biasanya terjadi pada frekuensi antara 3-6 kHz, dengan puncak gangguan pada 4 kHz seperti tercatat pada audiogram.

TELINGA TENGAH
Telinga tengah atau middle ear cleft adalah suatu celah berisi udara dengan volume berkisar 1 - 2 cm3 (cm kubik). Pada telinga tengah terdapat tulang2 pendengaran (osikel), muskulus (otot) tensor timpani dan stapedius, dan saraf korda timpani (serabut saraf pengecap untuk 2/3 anterior lidah, dan serabut parasimpatik untuk kelenjar submandibular dan sublingual). Batas2 telinga tengah adalah MT di bagian lateral, dan dinding lateral (kapsul labirin) telinga dalam di bagian medial. Telinga tengah berhubungan dengan rongga/sel udara mastoid melalui sebuah lubang sempit yang dinamakan antrum, dan juga berhubungan dengan nasofaring (ruang di belakang hidung) melalui tuba eustachius. Selain struktur di atas, serabut saraf wajah (nervus fasialis) yang berjalan di dalam saluran tulang terletak sangat dekat dengan telinga tengah, yang mungkin saja melekat dan meningkatkan resiko kerusakan atau penekanan saraf wajah ini saat timbul lesi abnormal di telinga tengah yang mengakibatkan kelumpuhan otot2 wajah.
Apa saja tulang2 pendengaran (osikel) yang terdapat di telinga tengah?
3 buah tulang pendengaran, yaitu: maleus, incus, dan stapes, membentuk rantai tulang pendengaran (osicular chain). Posisi maleus adalah di antara MT dan inkus, artinya sisi luar maleus melekat pada MT dan sisi dalam membentuk persendian dengan incus. Selanjutnya incus akan membentuk persendian dengan stapes. Dan stapes kemudian berhubungan dengan oval window telinga dalam. Dengan demikian osicular chain imenjembatani inter-koneksi telinga luar hingga telinga dalam.

Apa peranan dari otot tensor timpani dan otot stapedius?
Kedua otot ini mengurangi proses mekanik telinga tengah. Pengertiannya adalah sebagai berikut, jika telinga kita menerima suara sangat keras (intensitas > 80 dB) maka kemungkinan gerakan mekanik osicular chain akan sangat progresif yang dapat merusak struktur oval window telinga dalam. Sehingga saat intensitas suara mencapai nilai di atas, otot stapedius secara refleks akan berkontraksi untuk membatasi gerakan stapes. Meskipun fungsi utama refleks akustik ini adalah proteksi, ia juga meningkatkan mekanisme kontrol yang mempertahankan input suara ke telinga dalam (koklea) lebih konstan, dan memperluas rentang dinamik sistem telinga tengah, sebagai contoh: otot stapedius tercatat juga berkontraksi saat seseorang mengunyah dan bersuara (vokalisasi), sehingga dapat mereduksi bising yang timbul akibat gerakan2 yang berasal dari dalam tubuh sendiri.

Struktur mana di telinga tengah yang menjamin aerasi di telinga tengah?

Telah dijelaskan bahwa telinga tengah adalah celah berisi udara, di mana tekanan udara di dalamnya harus tetap dipertahankan sesuai tekanan udara ambien (lingkungan luar) agar transfer sinyal suara berjalan optimal. Tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring akan menjamin aerasi dan drainase telinga tengah. Jika tuba eustachius mengalami disfungsi, dapat menimbulkan rasa tersumbat atau popping di telinga dan/atau otitis media (radang/infeksi telinga tengah). Fungsi tuba eustachius yang tidak matur, yang sering terjadi pada anak2, merupakan salah satu predisposisi utama timbulnya infeksi telinga tengah pada populasi anak.

Bagaimana telinga tengah memaksimalkan transfer sinyal suara ke telinga dalam (koklea)?

Ada hal mendasar yang membedakan sistem telinga luar dan sistem telinga dalam, yaitu: medium udara di telinga luar dan medium cairan di telinga dalam. Perbedaan medium ini menentukan perbedaan impedansi di antara kedua sistem ini, yaitu "energi perlawanan" sistem telinga dalam terhadap input energi suara jauh lebih besar dibanding sistem telinga luar. Artinya energi suara yang merambat sepanjang medium udara di telinga luar akan sangat menurun ketika mencapai medium cairan di telinga dalam. Karena itu telinga tengah berfungsi meminimalisasi masalah ini. Amplifikasi energi suara terjadi akibat efek area MT dan aktivitas pengungkit dari osicular chain. Efektivitas area vibrasi MT adalah sekitar 17 kali dibanding area footplate stapes (yaitu area perlekatan stapes pada oval window telinga dalam), sehingga menghasilkan peningkatan energi suara sebesar 17 kali pula. Selain itu panjang lengan maleus sekitar 1.3 kali panjang short process incus, sehingga kekuatan yang terbentuk pada stapes akan meningkat sebesar 1.3 kali. Kombinasi dari kedua efek di atas (17 x 1.3) memberikan peningkatan energi mekanik 22:1, yang menyebabkan peningkatan energi suara setara 25 dB saat mencapai koklea telinga dalam.

TELINGA DALAM

Telinga dalam adalah suatu sistem labirin membranosa yang tertanam di dalam tulang. Sistem ini mengandung auditory end organ (koklea) yang bertanggung jawab dalam mendeteksi suara, dan vestibuler end organ (utrikukus, sakulus, dan kanalis semisirkularis) yang bertanggung jawab dalam mempertahankan keseimbangan tubuh, dengan mencitrakan gerakan akselerasi (linear ataupun anguler) maupun gerakan gravitasional.

Apa koklea dan fungsinya?

Koklea berbentuk seperti tabung menyerupai rumah siput yang melingkar sebanyak 2.5 kali putaran. Jika kita memotong koklea secara transversal, maka di dalam koklea terdapat 3 buah kompartemen, yaitu skala vestibuli (atas), skala media (tengah), dan skala timpani (bawah). Membrana Reissneri memisahkan skala vestibuli dari skala media, sedangkan membrana basilaris memisahkan skala media dari skala timpani. Di dalam skala vestibuli dan skala timpani terdapat perilimfe, suatu cairan yang mirip dengan cairan ekstraseluler. Dan di dalam skala media terdapat endolimfe, cairan yang mirip dengan cairan intraseluler. Di dalam skala media inilah terletak organo korti.

Apa itu Organo Korti?

Organo korti pada skala media mengandung sel2 reseptor pendengaran (auditory receptor cells), atau disebut pula sel-sel rambut. Dinamakan sel2 rambut karena membran di bagian permukaan sel mengalami evaginasi yang disebut stereosilia, yang mirip seperti rambut.

Stereosilia mengandung ion channels yang dapat terbuka aktif secara mekanik jika menerima stimulus suara. Selain sel2 rambut terdapat pula sel2 struktural dan sel2 pendukung (supporting cells). Terdapat 2 tipe sel rambut, yaitu sel rambut dalam (inner hair cells=IHC) dan sel rambut luar (outer hair cells=OHC). IHC membentuk sebaris sel yang berjalan spiral di sepanjang koklea dekat aksis sentral. OHC membentuk 3-4 baris sel rambut yang berjalan pada koklea namun tidak berdekatan dengan aksis sentral.

Bagian dasar sel2 rambut menempel pada membrana basilaris, sedangkan pada bagian permukaan di mana terdapat stereosilia terletak membrana tektorial. Membrana basilaris dan tektorial berhubungan di bagian sentral. Suara akan mengerakkan kedua struktur ini pada arah berlawanan, sehingga stereosilia yang berada di permukaan sel rambut akan menekuk. Pergerakan stereosilia akan membuka dan menutup ion channels, menghasilkan potensial reseptor di IHC. Potensial reseptor ini menyebabkan keluarnya neurotransmitter ke serabut2 saraf aferen yang menjadi sinyal penting ke otak tentang adanya suara dengan frekuensi tertentu. Sel2 rambut koklea bersifat frekuensi spesifik, di mana stimulasinya oleh input suara tergantung pada tonotopic map membrana basilaris. Pengertiannya sebagai berikut: suara dengan frekuensi tinggi dideteksi di bagian basis koklea, sedangkan suara dengan frekuensi rendah dideteksi di bagian apeks. Properti mekanik membrana basilaris sendiri yang kemudian menentukan perbedaan tonotopik ini.

Apa perbedaan antara IHC dan OHC?

Secara konseptual, IHC dianggap sebagai auditory receptor cells yang klasik, yang bertanggung jawab mengirim sinyal dalam bentuk frekuensi suara yang spesifik ke otak. Sedangkan OHC dianggap memberikan efek amplifikasi dari stimulus suara kepada IHC yang terdekat, selain juga mempertajam respon frekuensi IHC terdekat.

Ada beberapa alasan untuk konsep di atas:

1. OHC terlihat memendek dan memanjang jika dirangsang oleh suara. Gerakan pumping (mirip kontraksi) seperti ini dapat mempengaruhi IHC dengan merubah gerakan membrana basilaris dan meningkatkan sensitivitas dan selektivitas frekuensi untuk output koklear (sinyal menuju otak). Di samping itu suatu protein prestin telah berhasil diisolasi pada OHC yang memberikan kemampuan untuk berkontraksi.

2. IHC secara predominan dipersarafi oleh serabut aferen yang membawa informasi dari sel2 rambut ke otak. Kebalikannya pada OHC, predominan dipersarafi serabut eferen, yang justru membawa informasi dari otak ke sel2 rambut. Stimulasi serabut eferen OHC juga berperan dalam mengurangi respon dari koklea.

Bagaimana perjalanan input suara selanjutnya melalui saraf dari koklea ke otak?

Stimulasi saraf oleh input suara yang dimulai dari sel2 rambut kemudian berjalan sepanjang serabut aferen, selanjutnya berturut2 mencapai nukleus koklearis, kompleks olivarius superior, lemniskus lateralis, kolikulus inferior, dan medial geniculate body untuk selanjutnya tiba di korteks auditori di otak. Pada level kompleks olivarius superior ke atas, mulai terjadi crossover antara input suara dari sisi kiri dan kanan.

KESIMPULAN

1. EAC berfungsi mengumpulkan dan meneruskan input suara luar ke MT. Karena resonan frekuensi EAC adalah 3-4 kHz, maka dianggap sebagai faktor penyebab utama peak NIHL terjadi pada frekuensi 4 kHz.

2. Sistem telinga tengah meng-amplifikasi suara melalui efek area dari TM dan oval window, serta aksi gerakan pengungkit osicular chain, di mana peningkatan yang terjadi dari kombinasi keduanya adalah 22:1 atau setara dengan 25 dB. Berbagai keadaan patologis yang merusak fungsi tersebut akan menimbulkan gangguan dengar tipe konduktif (Conductive Hearing Loss = CHL).

3. Tuba Eustachius meng-aerasi dan drainase telinga tengah yang menjaga tekanan telinga tengah tetap terkontrol sehingga transfer energi suara menjadi optimal. Jika terjadi imaturitas maupun disfungsi, selain bisa menyebabkan CHL, juga menjadi faktor penting penyebab infeksi/radang telinga tengah atau otitis media.

4. Sistem telinga dalam mengandung end organ auditory, yaitu koklea. Pada koklea inilah energi suara akan diubah menjadi potensial listrik yang ditangkap oleh reseptornya di sel2 rambut (hair cells) organo korti.

5. Hair cells terdiri dari 2 jenis, yaitu: IHC dan OHC. IHC berfungsi mengirim sinyal frekuensi suara spesifik ke otak. Sedangkan OHC berperan dalam meningkatkan sensitivitas dan selektivitas frekuensi untuk output koklear (sinyal menuju otak) yang dihasilkan oleh IHC.

6. Korteks Auditory di otak adalah akhir perjalanan input frekuensi suara yang berasal dari IHC organi korti, setelah melalui serabut aferen, nukleus koklearis, kompleks olivarius superior, lemniskus lateralis, kolikulus inferior, dan medial geniculate body. Di korteks inilah input tersebut di olah sehingga menjadikan produk suara yang terdengar, dikenal, dipahami, dimengerti, diingat, dan lain sebagainya.

Rabu, 03 September 2008

Telemedicine.. pentingkah di bidang kesehatan?

Telemedicine artinya memanfaatkan kemajuan teknologi telekomunikasi untuk pertukaran informasi kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan tanpa memandang batas geografis, waktu, sosial, dan kultur. Telemedicine akan bermanfaat bagi pasien maupun dokter jika implemantasinya berupa respon langsung bagi terpenuhinya kebutuhan di bidang kesehatan.

Apa bedanya e-health, telemedicine, dan telehealth?

e-Health adalah memanfaatkan internet untuk transmisi informasi kesehatan.
Telemedicine adalah penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk pertukaran informasi kesehatan.
Telehealth adalah hasil dari pertukaran tersebut.
Berdasarkan definisi tersebut, telehealth mencakup pula pengertian terpisahnya jarak dan/atau waktu antara pesien dan dokter yang mendiagnosis atau mengobati.
Teknologi telehealth umumnya dimanfaatkan untuk beberapa kepentingan, antara lain:
1. Mengirim pelayan kesehatan ke pasien yang berjarak jauh
2. Mendidik provider, admisnistrator, pasien, dan keluarganya
3. Untuk mengakumulasi data atau memonitor insidensi penyakit sebagai bagian dari kesehatan masyarakat, epidemiologik, atau biodefense network.

Teknologi telehealth memiliki potensi untuk memperbaiki akses pelayanan kesehatan, meningkatkan kualitas pelayanan, mengurangi kesalahan medis, mengurangi biaya kesehatan, dan lebih mendistribusikan informasi kesehatan.

Apa saja teknologi telemedicine yang dapat digunakan?

Termasuk di dalamnya adalah: telefon, radio, audiograf, fax, gambar komputer, video broadcast, video full-motion, virtual reallity, aplikasi terbaru dalam updated personal digital assistants (PDAs). Kebutuhan akan berbagai publikasi gambar2, terutama digital imaging untuk meningkatkan pemahaman dalam aspek medis, membuat telemedicine muncul sebagai komponen penting dalam bidang kesehatan, termasuk otolaryngology.
sebagai contoh:
Telemedicine dapat digunakan untuk menginformasikan, mendiagnosis, dan menengani pasien jarak jauh, seperti:
1. Videokonferensi atau stored-and-forward referral.
2. Tumor boards dan grand rounds
3. Rehabilitasi audiologi dan gangguan bicara
4. Konsultasi gangguan dengar
5. Teleproctored (mengawasi tindakan pembedahan) dan telementored (instruksi bedah)

Apa bedanya teknologi store-and-forward dan real-time?

Store-and-forward artinya data dikirim ke web-site dan kemudian diterima dan dianalisis oleh provider yang ditunjuk ke konsultan web-site. Konsultan akan me-review gambar dan data klinis dalam waktu tertentu dan kemudian mengembalikan opininya melalui e-mail ke provider.

Transmisi real-time artinya provider, pasien, dan konsultan mengirim informasi pada saat yang bersamaan, kemudian dengan menggunakan internet atau videokonferensi, beberapa klinisi akan saling bertukar informasi. Contoh lain dari transmisi real-time adalah percakapan telepon.

Mengapa tidak banyak orang memanfaatkan telemedicine?

Ada beberapa alasan:
1. Para praktisi enggan mempelajari dan menggunakan teknologi baru kecuali bila jelas memberikan keuntungan jika dilaksanakan.
2. Praktisi memerlukan akses hardware dan software untuk melaksanakan konsultasi telemedicine.
3. Terdapat keterbatasan dalam hal legalitas, sistem regulasi di suatu negara, etika, dan sosioekonomi untuk implementasi telemedicine di bidang kesehatan secara menyeluruh.

Sebagai contoh :
Lisence atau surat izin praktek (SIP). Semenjak negara kita menerapkan sistem terbatas 3 tempat praktek dan belum ada regulasi yang jelas mengenai legalitas SIP untuk berpraktek telemedicine yang berarti melewati batas waktu dan geografis. Misalnya jika seorang dokter diberi izin untuk berpraktek di Bandung, maka besar kemungkinan ia tidak dapat menangani pasien menggunakan telemedicine di Bogor, kecuali ia memiliki pula SIP di wilayah Bogor. Masih diperlukan ketegasan dan regulasi standar untuk legalisasi telehealth.

Apa hambatan lain atau resiko yang mungkin timbul, dan bagaimana anda menyikapi telemedicine ini?

Pemanfaatan dan kepercayaan yang berlebihan pada teknologi ini mungkin saja merusak komunikasi tradisional pasien-dokter, di samping resiko dan tanggung jawab dari seorang dokter. Masih banyak yang belum jelas mengenai resiko konsultasi, diagnosis, dan intervensi medis jarak jauh ini.

Karena itu selama telemedicine ini diperuntukkan untuk menambah wawasan dalam bidang kesehatan baik bagi pasien maupun dokter, sumber rujukan untuk mendapatkan strategi penanganan penyakit yang lebih baik dalam hal diagnosis maupun pengobatan, maka tidak salahnya dimanfaatkan secara informal.

Mengingat manfaat yang besar, maka penggunaan telemedicine secara profesional tetap harus dikembangkan hingga terdapat sistem regulasi dan legalitas yang jelas, disertai dengan kapasitas yang baik dan bertanggung jawab dari siapapun yang akan menyelenggarakan telemedicine ini. Sebaiknya penyelenggara telemedicine minimal adalah sebuah institusi rumah sakit dan suatu departemen sistem informasi yang duduk bersama dalam merencanakan implementasi sistem yang paling baik disesuaikan dengan kapabilitas yang dimiliki termasuk dalam hal teknologi yang tersedia dan paling tepat, manajerial, sistem operasional, serta policy dan procedures manual.

Sabtu, 30 Agustus 2008

Suara Serak

Suara serak = hoarseness ?
Suara serak (hoarseness) sering digunakan untuk menggambarkan perubahan kualitas suara, mulai dari suara lemah hingga kasar. Istilah hoarseness sendiri dapat merefleksikan kelainan (abnormalitas) yang letaknya bisa di berbagai tempat di sepanjang saluran vokalis, mulai dari rongga mulut hingga paru. Meski idealnya istilah hoarseness lebih baik ditujukan untuk disfungsi laring akibat vibrasi pita suara yang abnormal.
Sebelum kita berbicara lebih lanjut mengenai hoarseness atau suara serak ini, ada baiknya terlebih dahulu memahami bagaimana suara itu diproduksi saat bicara.

Terdapat 3 fase dalam berbicara: pulmonal (paru), laringeal (lariynx), dan supraglotis/oral.
Fase pulmonal menghasilkan aliran energi dengan inflasi dan ekspulsi udara. Aktivitas ini memberikan kolom udara pada laring untuk fase laringeal. Pada fase laringeal, pita suara bervibrasi pada frekuensi tertentu untuk membentuk suara yang kemudian di modifikasi pada fase supraglotik/oral. Kata (word) terbentuk sebagai aktivitas faring (tenggorok), lidah, bibir, dan gigi. Disfungsi pada setiap stadium dapat menimbulkan perubahan suara, yang mungkin saja di interpretasikan sebagai hoarseness oleh seseorang/penderita.
Adapun perbedaan frekuensi suara dihasilkan oleh kombinasi kekuatan ekspirasi paru dan perubahan panjang, lebar, elastisitas, dan ketegangan pita suara. Otot adduktor laringeal adalah otot yang bertanggung jawab dalam memodifikasi panjang pita suara. Akibat aktivitas otot ini, kedua pita suara akan merapat (aproksimasi), dan tekanan dari udara yang bergerak menyebabkan vibrasi dari pita suara yang elastik.
Apa tanda klinis perubahan kualitas suara ?
Jika penderita mengeluh suara lemah/tertahan (damped voice), besar kemungkinan letak abnormalitas bicara (speech) tersebut adalah di fase paru atau saluran trakeobronkial (level di bawah pita suara), salah satunya akibat pergerakan paru yang terbatas, membuat suara yang keluar sulit dipersepsikan. Sedangkan jika terdapat kesulitan dalam pengucapan kata(artikulasi) atau mengalami perubahan resonansi suara seperti suara yang datang dari hidung, maka masalahnya kemungkinan berasal dari fase oral/faring. Abnormalitas dalam fase oral juga bisa menghasilkan suara muffled atau "hot potato" voice (seperti orang berbisara saat mengunyah kentang panas). Kelainan yang berasal dari fase oral dan fase paru tidak dianggap sebagai hoarseness. True hoarseness atau suara serak yang sebenarnya, berasal daro abnormalitas pada laring dan umumnya menghasilkan suara yang kasar, serak/parau (raspy voice).
Di bawah ini terdapat berbagai istilah untuk mengkarakteristikan hoarseness atau perubahan kualitas suara:
1. Disfonia: digunakan untuk menggambaran perubahan umum kualitas suara
2. Diplofonia: Menggambarkan suara yang dibentuk oleh vibrasi pita suara menghasilkan 2 frekuensi yang berbeda
3. Afonia: Terjadi jika tidak ada suara di hasilkan oleh pita suara. Ini sering terjadi sekunder terhadap tidak adanya aliran udara melalui pita suara, atau defisiensi dalam aproksimasi pita suara.
4. Stridor: Mengindikasikan bising yang dihasilkan dari saluran penapasan atas selama inspirasi dan/atau ekspirasi karena adanya obstruksi. Stridor menandai keadaan emergensi, dan tidak dipertimbangkan sebagai hoarseness. Artinya mungkin saja muncul bersamaan dengan hoarseness jika obstruksi terjadi di level pita suara.
Apa saja kategori hoarseness ?
Hoarseness dapat dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu: onset akut dan onset kronis.
Onset akut lebih sering terjadi dan biasanya karena peradangan lokal pada laring (laringitis akut). Laringitis akut bisa disebabkan oleh infeksi viral yang pada banyak kasus dapat sembuh dengan sendirinya, dan biasanya direkomendasikan untuk istirahat berbicara, meningkatkan asupan cairan, dan humidifikasi. Jika diduga terjadi karena infeksi sekunder bakterial, dapat diberikan antibiotik. Apabila tidak ada bukti adanya infeksi, laringitis akut bisa terjadi karena bahan kimia aau iritan dari lingkungan, atau akibat penggunaan suara berlebih (voice overuse) pada penyanyi, pengajar, orator, dsb.
Onset kronis (Laringitis kronis), dapat disebabkan refluks faringeal, polip jinak, nodul pita suara, papilomatosis laring, tumor, defisit neurologis, ataupun peradangan kronis sekunder karena asap rokok atau voice abuse.
Apa penyebab hoarseness tersering ?
Laringitis akut viral
Nodul pita suara, polip, kista, papiloma
Paralisis pita suara
Hipotiroidisme
Rhinosinusitis
Kanker laring
Refluks laringofaringeal
Tindakan Intubasi
Alergi
Apa penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi suara dan menyebabkan hoarseness?
Antara lain:
Hipotirodisme
Multiple sklerosis
Rematoid artritis
Penyakit Parkinson
Lupus sistemik
Wagener's granulomatosis
Miasenia Gravis
Sarkoidosis
Amiloidosis
Bagaimana penanganan Hoarseness akibat Laringitis kronis ?
Laringitis kronis adalah peradanan umum pada laring yang sering disebabkan oleh asap rokok, voice abuse, atau refluks laringofaringeal (reluks asam yang mengakibatkan iritasi pada area glotis dan supraglotis dari laring). Suara biasanya membaik jika faktor iritan dihilangkan. Pasien dengan refluks biasanya menunjukkan gejala hoarseness kronis, batuk kronis, iritasi tenggorok, sering membuang dahak, dan sensasi globus. Gejala refluks lainnya seperti heartburn hanya dirasakan pada 50% penderita refluks laringitis. Penanganan kasus seperti ini dengan memberikan H2 blockers dan proton pump ihibitor sangat efektif. Istirahat bicara juga bermanfaat, di samping berbaring dengan posisi kepala elevasi dari bidang horisontal kasur, dan menunggu 3-4 jam setelah makan sebelum pergi tidur.

Jumat, 29 Agustus 2008

Anda mengorok? atau Sering mengalami henti napas saat tidur?

Apa itu ngorok? Apa bedanya dengan sleep apnea obstruktif (SAO)?

Ngorok atau istilah medisnya snoring adalah bunyi napas yang timbul saat tidur. Sedangkan SAO adalah henti napas saat tidur (sleep apnea) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dan berpotensi membahayakan jiwa. SAO lebih sebagai suatu sindroma di mana apnea timbul dalam beberapa periode. Apnea sendiri adalah terhentinya proses bernapas seseorang secara sementara dan intermiten selama 10 detik/lebih setiap periodenya. SAO timbul karena saluran napas bagian atas menyempit (oklusi) saat tidur menghasilkan beberapa episode apnea.
Akibat dari apnea, penderita sering terbangun mendadak, namun tertidur lagi saat napas kembali normal, selanjutnya kejadian yang sama terjadi berulang-ulang.

Siapa saja yang mengorok?

Pada usia 30 tahun, 20% pria dan 5% wanita mengorok. Kemudian meningkat hingga 60% dan 40% pada usia 40 tahun. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya usia, mukosa palatum (langit2) orofaring, dan hipofaring menjadi kurang elastik dan mudah kolaps sewaktu menghirup udara (inspirasi). mengorok juga 3 kali lebih sering terjadi pada obesitas.

Obesitas sering menyebabkan ngorok dan henti napas selama tidur karena berat leher, meningkatnya lemak di rongga parafaringeal yang mempersempit faring/tenggorok, langit-langit yang menebal, dan dasar lidah yang memadat. Ngorok dan henti napas (sleep apnea) dapat muncul seiring, meski tidak benar2 pada saat yang bersamaan. Hampir sebagian besar orang yang sleep apnea mengorok, namun orang yang mengorok belum tentu mengalami sleep apnea. Sehingga kebiasaan mengorok pada seseorang tidak dapat dijadikan landasan dalam memutskan apakah seseorang sleep apnea atau tidak.

Siapa pula yang mengalami SAO?

Lebih dari 5% populasi orang dewasa di Amerika mengalami SAO. Kebanyakan dari mereka (70% kasus) dikaitkan dengan berat badan berlebih, sisanya ternyata berat badannya normal namun terdapat kondisi seperti deviasi septum hidung, polip hidung, amandel yang besar, atau rahang yang pendek (retrognatia). Pria dianggap 2-3 kali lebih banyak mengidap SAO, sedangkan wanita kebanyakan mengalami SAO saat mencapai usia menopause. SAO juga dikaitkan dengan beberapa kondisi medis tertentu, seperti: gagal jantung.

Sebagian besar penderita SAO memiliki jaringan yang tebal atau saluran napas yang sempit. Pada keadaan di mana dua variasi anatomi tersebut muncul, keduanya akan berkombinasi menghasilkan kolaps saluran napas atas sehingga aliran udara tersumbat, ini yang disebut sleep apnea tipe perifer. Namun perlu dipahami bahwa terdapat pula sleep apnea tipe sentral, di mana saluran napas tidak tersumbat tetapi otak (sistem saraf pusat) yang gagal memberikan sinyal ke otot2 untuk bernapas. Istilah mixed sleep apnea adalah cerminan kombinasi keduanya.
Adanya desaturasi oksihemoglobin akibat terhambatnya aliran udara seringkali menyebabkan penderita yang terjaga masuk kembali ke level tidur yang dangkal, dan saluran napas kembali membuka dengan karakter suara pernapasan yang nyaring (ngorok), namun tidurnya sendiri sangat terfragmentasi serta berkualitas buruk.

Seberapa nyaring suara ngorok yang bisa dihasilkan?

Suara ngorok paling keras tercatat dialami oleh Kare Walkert of Kumla, seorang berkebangsaan Swedia, yang menderita SAO, di mana suara yang terekam di Orebro regional hospital pada 23 Mei 1993 mencapai 94 dB !!! kekerasan ngorok ini setara jeritan anak atau kereta api bawah tanah.

Apakah ngorok pada anak normal?

Ngorok dan SAO pada anak adalah tidak normal ! Penyebabnya mungkin saja simpel seperti : pilek yang menyebabkan sumbata hidung, dan pembengkakan adenoid. Atau bisa juga lebih kompleks, seperti "fasies adenoid" yaitu suatu penyumbatan hidung kronis sehingga anak selalu bernapas melalui mulut dan menyebabkan struktur bagian tengah wajah menyempit dengan gigi yang menonjol langit-langit yang meninggi, dan rahang yang tertarik ke belakang diserta tertariknya otot-otot mengunyah. Lainnya adalah abnormalitas tulang kepala-wajah (Pirre Robin syndrome). Kasus lain termasuk kista nasofaring, encefalokel, atresia koana, dan deviasi septum hidung.
Komplikasi yang bisa timbul antara lain: defisit neurokognitif, gangguan pertumbuhan, Attention Deficit/Hyperactivity Disorders (ADHD), dan hipertensi pulmonal. Hanya sayangnya gangguan tidur seperti SAO pada anak sering tidak terdeteksi atau tidak dapat dikenali. jika faktor obesitas sangat berperan pada orang dewasa, maka pada anak dengan sleep apnea cenderung berat badannya rendah dan postur tubuhnya pendek.

Apa saja keluhan atau gejala yang dirasakan pada SAO?

Yang paling sering dirasakan adalah ia merasa amat sangat mengantuk sepanjang hari (Excessive daytime sleepiness). Ia menjadi tidak mampu mengemudi, tiba2 sangat mengantuk di tengah2 percakapan, dan sering diungkapkan sebagai rasa teramat lelah atau 'fatigue', dsb. Mengingat gejala yang timbul tersebut munculnya bergradasi, sering membuat penderita tidak sadar bahwa ia mengidap gangguan tidur, artinya peristiwa tidur yang buruk dengan periode henti napas berulang tidak disadari oleh penderita.
Karena itu penting bagi pasangan/pendamping tidurnya atau anggota keluarga, teman, atau teman kerjanya untuk memahami tanda2 SAO. Besar kemungkinan saat ia tertidur akan terdengar suara napas yang tidak lazim, diantaranya:
1. Pause diantara suara napas
2. Bunyi tercekik
3. Suara berkarakter eksplosif (terbukanya saluran napas scr tiba2 setelah sumbatan total)
4. Gemeretuk gigi selama tidur

Apa saja Konsekuensi SAO pada orang dewasa?

Konsekuensi kardio-vaskuler
1. Hipertensi
2. Gagal jantung kongestif
3. Aterosklerosis
4. Atrial fibrilasi
5. Ventrikular aritmia
6. pulmonari hipertension

Konsekuensi lainnya
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Glaukoma
3. Menurunnya libido

Kondisi2 lainnya yang dilaporkan berhubungan dengan SAO
1. Obesitas dan sindroma obesitas, seperti Prader-Willi syndrome
2. Kelainan ovari polisistik
3. Gagal ginjal
4. Hipotiroidisme
5. Sindroma Marfan's
6. Penyakit charcot-Marie-Tooth
7. Refluks gastroesofageal
8. Epilepsi yang memberat

Bagaimana menangani SAO?

Terdapat sejumlah strategi/pilihan pengobatan untuk SAO, tentu saja disesuaikan dan berdasarkan hasil evaluasi yang teliti terhadap berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab timbulnya SAO, mulai dari hidung hingga level saluran napas atas yang paling bawah, melalui berbagai prosedur pemeriksaan, seperti: ananmnesis, pemeriksaan fisik umum dan area kepala-leher lengkap, termasuk mendeteksi masalah jantung paru atau hipertensi, pemeriksaan flexible endoscopic (ex. Muller's manuver), prosedur dasar/basis lidah. Beberapa modalitas pemeriksaan/test juga penting dalam penanganan SAO, antara lain: The Epworth Sleepiness scale, home sleep studies, multiple sleep latency test, sleep endoscopy, ataupun polisomnografi untuk sleep study.
Adapun pilihan modal terapi yang berkembang hingga saat ini, dapat dikelompokkan ke dalam terapi dengan pendekatan medis dan bedah.
1. Pengobatan non farmakologis seperti:
- Penurunan berat badan
- Penggunaan tongue-retaining devices
- Modalitas positive airway pressure: CPAP dan BiPAP
2. Medikasi: oksigen, protriptyline, theophylline.
3. Prosedur bedah: UPPP, somnoplasti, trakeostomi.

Sabtu, 07 Juni 2008

Gangguan Dengar

Pendengaran adalah fungsi yang penting dan sangat berharga dalam kehidupan, terutama dalam berkomunikasi dan bersosialisasi. Gangguan dengar atau ketulian yang bersifat permanen bukan tidak mungkin menimbulkan masalah psikososial dan kesehatan yang pada akhirnya menyebabkan seseorang kehilangan pekerjaan, depresi, dan terisolasi dari kehidupan sosial.

Sistem Pendengaran

Sistem pendengaran dapat dibagi ke dalam empat bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga dalam, dan sistem saraf pendengaran disertai pusat pendengaran di otak. Telinga luar berperan pasif tetapi penting bagi pendengaran. Daun telinga berfungsi mengumpulkan suara dan mengetahui lokasi datangnya suara, sedangkan liang telinga (saluran telinga luar) karena bentuk dan dimensinya yang membuat ia bersifat resonator, maka dapat menambah intensitas (kekerasan bunyi) pada rentang frekuensi 2-4 kilohertz (kHz) sebesar 10-15 dB.
Telinga tengah dengan 3 buah tulang pendengarannya (maleus-inkus-stapes) membentuk sistem pengungkit (katrol) untuk menghantarkan suara dari gendang telinga ke fenestra/foramen ovale (lubang pada tulang yang membatasi telinga tengah dan telinga dalam). Transmisi energi suara melalui telinga tengah ini diawali dengan bergetarnya gendang telinga yang menggerakkan maleus. Selanjutnya lengan tulang maleus dan prosesus (tonjolan) tulang inkus bergerak bersama-sama untuk kemudian menyebabkan tulang stapes bergerak seperti piston di dalam fenestra ovale.
Gerakan piston dari stapes tersebut menimbulkan perubahan tekanan yang akan diteruskan dan dihantarkan melalui cairan perilimfe di telinga dalam (koklea) ke sekat koklea. Transmisi tekanan ini menyebabkan sekat koklea menggelembung ke atas dan ke bawah dan mengaktifkan sel rambut di dalam organokorti untuk merangsang saraf pendengaran. Artinya pada telinga luar dan telinga tengah terjadi proses transmisi (hantaran suara) dan transformasi (peningkatan energi suara), sedangkan di telinga dalam terjadi proses mekanotransduksi (perubahan energi suara menjadi energi potensial listrik). Perubahan potensial inilah yang kemudian akan merangsang terjadinya aktivasi sepanjang serabut saraf pendengaran untuk kemudian dipersepsikan sebagai suara di pusat pendengaran di otak.

Gangguan Dengar
Gangguan dengar didefinisikan sebagai berkurangnya pendengaran dari derajat ringan sampai sangat berat. Jika seseorang dapat mendengar suara dari suatu sumber bunyi dengan intensitas (tingkat kekerasan bunyi) antara 0-25 dB, maka ia memiliki fungsi pendengaran yang normal. Berdasarkan titik tolak tersebut, maka jika seseorang:
baru dapat mendengar suara dengan intensitas”
1. 26-40 dB : gangguan dengar ringan
2. 41-55 dB : gangguan dengar sedang
3. 56-70 dB : gangguan dengar sedang-berat
4. 71-90 dB : gangguan dengar berat
5. > 90 dB : gangguan dengar sangat berat

Adapun jenis gangguan dengar dapat dikategorikan ke dalam gangguan dengar tipe konduktif (conductive hearing loss) terjadi bila terdapat gangguan hantaran suara yang ditransmisikan melalui udara mulai dari liang telinga (saluran telinga luar), gendang telinga, rangkaian tulang pendengaran yang terdapat di rongga telinga tengah, hingga sampai foramen ovale. Artinya suatu kelainan yang terdapat pada setiap area di atas dapat menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Sampai batas tertentu, gangguan pendengaran tipe ini masih dapat diperbaiki. Kategori lainnya adalah gangguan dengar tipe sensorineural (sensorineural hearing loss) yang akan terjadi jika hantaran suara melalui tulang untuk transmisi di daerah persepsi (sel-sel rambut organokorti di telinga dalam hingga saraf pendengaran area auditorius di otak). Bisa saja terdapat gangguan pendengaran pada kedua jenis hantaran di atas yang kemudian dikategorikan sebagai gangguan dengar/tuli campur.

Tonsilitis

Tonsillitis adalah suatu peradangan pada tonsil (atau biasa disebut amandel) yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun hampir 50% kasus tonsilitis adalah karana infeksi. Tonsilitis akut sering dialami oleh anak dengan insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun, dan juga pada orang dewasa di atas usia 50 tahun. Seseorang terpredisposisi menderita tonsillitis jika memiliki resistensi yang rendah, memiliki tonsil dengan kondisi tidak menguntungkan akibat tonsilitis berulang sebelumnya, sebagai bagian dari radang tenggorok (faringitis) secara umum, atau sekunder terhadap infeksi virus (biasanya adenovirus yang menyebabkan tonsil menjadi mudah diinvasi bakteri).
Manifestasi klinik yang mungkin timbul pada tonsilitis sangat bervariasi untuk tiap penderita, diantaranya rasa mengganjal atau kering di tenggorokan, nyeri tenggorok (sore throat) rasa haus, malaise, demam, menggigil, nyeri menelan (odinofagia), gangguan menelan (disfagia), nyeri yang menyebar ke telinga, pembengkakan kelenjar getah bening regional, perubahan suara, nyeri kepala, ataupun nyeri pada bagian punggung dan lengan.
Diagnosis dari tonsilitis akut atau berulang ditegakkan terutama berdasarkan manifestasi klinis. Meskipun demikian prosedur kultur dan resistensi bakterial sangat dianjurkan. Hal ini berkaitan dengan ditemukannya jenis bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A pada 40% kasus, di mana tonsilitis yang terjadi sekunder terhadap bakteri ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang cukup berat. Jenis bakteri lain yang juga dapat ditemukan, antara lain: streptokokus alfa dan gama, difteroid, stafilokokus aureus, dan haemofilus influenza. Di samping itu bakteri anaerob juga telah ditemukan pada permukaan dan poros tonsil, terutama grup bakteroides melaninogenikus.
Meskipun kebanyakan kasus tonsilitis dapat sembuh dengan penanganan konvensional, seperti istirahat (bedrest), asupan makanan yang baik, penurun panas (antipiretik), di mana tanpa pemberian antibiotik, tonsilitis biasanya berlangsung selama kurang lebih 1 minggu. Adapun pemberian antibiotik dalam kasus seperti ini, umumnya ditujukan untuk mengurangi episode penyakit dan lamanya gejala yang diderita seperti nyeri tenggorok, demam, nyeri kepala, ataupun pembengkakan kelenjar getah bening. Antibiotika sendiri menjadi indikasi jika pada pemeriksaan kultur dan resistensi ditemukan bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A, dengan tujuan mengeradikasi kuman dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul akibat tonsillitis akut atau berulang, di antaranya:
1. Abses peritonsilar (quinsy) : Biasanya timbul pada pasien dengan tonsillitis berulang atau kronis yang tidak mendapat terapi yang adekuat.
2. Abses parafaringeal : Timbul jika infeksi atau pus (cairan abses) mengalir dari tonsil atau abses peritonsilar melalui otot konstriktor superior, sehingga formasi abses terbentuk di antara otot ini dan fascia servikalis profunda. Komplikasi ini berbahaya karena terdapat pada area di mana pembuluh darah besar berada dan menimbulkan komplikasi serius.
3. Abses retrofaringeal : Keadaan ini biasanya disertai sesak nafas (dyspnea), ganggaun menelan, dan benjolan pada dinding posterior tenggorok, dan bisa menjadi sangat berbahaya bila abses menyebar ke bawah ke arah mediastinum dan paru-paru.
4. Adenitis servikalis supuratif
5. Tonsilolith : Tonsilolith adalah kalkulus di tonsil akibat deposisi kalsium, magnesium karbonat, fosfat, dan debris pada kripta tonsil membentuk benjolan keras. Biasanya menyebabkan ketidaknyamanan, bau mulut, dan ulserasi (ulkus bernanah).
6. Kista tonsil : Umumnya muncul sebagai pembengkakan pada tonsil berwarna putih atau kekuningan sebagai akibat terperangkapnya debris pada kripta tonsil oleh jaringan fibrosa.
7. Komplikasi sistemik : Kebanyakan komplikasi sistemik terjadi akibat infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A. Di antaranya: radang ginjal akut (acute glomerulonephritis), demam rematik, dan bakterial endokarditis yang dapat menimbulkan lesi pada katup jantung.

Penanganan tonsillitis bisa sangat bervariasi tergantung dari perjalanan penyakitnya sendiri, mulai dari penanganan konvensional hingga tindakan pembedahan seperti tonsilektomi dan adenoidektomi. Jika pun keputusan pembedahan yang diambil, maka harus berdasarkan indikasi yang jelas dan telah mempertimbangkan cost/benefit ratio dari tindakan tersebut, selain itu telah diperhitungkan komplikasi yang mungkin terjadi. Beberapa indikasi untuk tonsilektomi/adenoidektomi antara lain: tonsillitis rekuren atau kronis dengan kriteria yang telah ditentukan, difteria yang tidak berespon terhadap terapi medikamentosa, demam rematik, tonsillitis yang berkaitan dengan infeksi telinga tengah atau sinusitis maksilaris, formasi abses, obstruksi jalan napas, dugaan keganasan tonsil, dan lain sebagainya.